Asal-usul ciuman dipelajari
di awal abad ke-20 oleh sejarawan alam Ernest Crawley. Ia menulis bahwa
ciuman adalah ekspresi universal dalam kehidupan sosial yang mewakili
perasaan kasih sayang, cinta (cinta seksual, cinta orang tua, cinta
anak), dan penghormatan. Menurut Crawley, sentuhan adalah "ibu dari
perasaan," dan ciuman merupakan bentuk sentuhan yang menunjukkan
hubungan yang intim.
Menurutnya,
ciuman sangat jarang terjadi di masyarakat yang rendah dan
setengah-beradab, dan lebih banyak dilakukan dalam masyarakat yang lebih
beradab. Namun di antara peradaban-peradaban tingkat tinggi, ada suatu
perbedaan: di Mesir kuno ciuman tampaknya tidak dikenal tetapi ciuman banyak dilakukan di Yunani, Assyria, dan India
Ciuman cinta, menurut antropolog abad ke-19, Cesare Lombroso, berasal dan berkembang dari ciuman keibuan.
Crawley mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa masyarakat Jepang, sebelum abad ke-20 tidak melakukan ciuman kecuali ibu kepada anaknya, sedangkan di Afrika dan daerah lain sudah biasa dilakukan ciuman antara suami dan istri, atau antarkekasih.
Ciuman
dalam masyarakat Barat digunakan dalam berbagai upacara dan acara
keagamaan karena ciuman dianggap sebagai tindakan suci. Secara umum,
meskipun telah ada sejak zaman primitif, ciuman mengalami banyak
perkembangan dalam budaya Barat.
Di
masa modern, para ilmuwan melakukan pemindaian otak pada orang-orang
ketika sedang melakukan hubungan romantis. Beberapa studi menunjukan
bahwa setelah "kencan pertama yang sempurna," sebuah sistem di dalam otak menjadi aktif dan itu sama dengan ketika seseorang mengonsumsi kokain. Dalam studi mengenai kasih sayang antara para kekasih, ketika peserta melihat foto pasangan mereka, otak mereka dibanjiri dopamin, bahan kimia internal yang dilepaskan ketika seseorang melakukan sesuatu yang sangat menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar