ingin di cintai dan di sayangi wanita klik aja di bawa ini

Rabu, 30 November 2011

SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA

SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA




Ilmu Pengetahuan Mengenai Sejarah Kerajaan Sriwijaya Baru Lahir Pada Permulaan Abad Ke-20 M, Ketika George Coedes Menulis Sebuah Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M. Sebenarnya, Lima Tahun Sebelum Itu, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka.

Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago.

Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Banyak Dugaan Bahwa Awal Masuknya Agama Buddha Ke Indonesia Adalah Pada Kedatangan Aji Saka Ke Tanah Jawa Pada Awal Abad Kesatu. Dugaan Ini Berawal Dari Etimologis Terhadap Kata Aji Saka Itu Sendiri, Serta Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya. Kata " Aji " Dalam Bahasa Kawi Bisa Berarti Ilmu Yang Ada Hubungannya Dengan Kitab Suci, Sedangkan " Saka " Ditafsirkan Sebagai Kata Sakya Yang Mengalami Transformasi.

Dengan Demikian Mungkin Kata Aji Saka Ditafsirkan Sebagai Gelar Raja Tritustha Yang Ahli Mengenai Kitab Suci Sakya, Dalam Hal Ini Ahli Tentang Buddha Dhamma, Selain Dianggap Sebagai Orang Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pembuatan Aksara Jawa. Bila Hal Ini Benar, Tarikh Saka Yang Permulaanya Dinyatakan Sebagai " Nir Wuk Tanpa Jalu " [ Nir Berarti Kosong [ 0 ], Wuk Berarti Tidak Jadi [ 0 ], Tanpa Berarti 0 Dan Jalu Sama Dengan 1 ] Yang Sekaligus Dimaksudkan Untuk Mengabadikan Pendaratan Pertama Aji Saka Di Jepara.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang.
Sumber Lain Yang Juga Menunjukan Hal Yang Sama, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Banyak Sumber Pengetahuan Kita Tentang Agama Buddha Diambil Dari Prasasti Yang Ditemukan Dan Dari Catatan-Catatan Luar Negri, Yaitu Dari Orang China Yang Mengunjungi Indonesia. Prasasti Yang Berasal Dari Abad Kelima Hingga Ketujuh Tidak Terlalu Banyak Memberikan Informasi. Prasasti Itu Berasal Dari Kalimantan, Sumatra Dan Jawa.

Dari Prasasti Itu Kita Hanya Mengetahui Bahwa Pada Waktu Itu Ada Raja-Raja Yang Memiliki Nama Yang Berbau India, Seperti Mulawarman Di Kutti Dan Purnawarman Di Jawa-Barat. Tetapi Hal Itu Tidak Berarti Bahwa Raja Tersebut Berasal Dari India. Yang Paling Mungkin Adalah Raja-Raja Tersebut Adalah Orang Indonesia Asli Yang Sudah Masuk Agama Yang Datang Dari India. Selanjutnya Prasasti Tersebut Menunjukan Bahwa Agama Yang Dipeluk Adalah Agama Hindu. Tapi Dari Penemuan Patung-Patung Buddha, Dapat Disimpulkan Bahwa Agama Buddha Juga Sudah Ada, Walaupun Jumlahnya Masih Sedikit.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya.

Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya
Beberapa Ahli Mengatakan Bahwa Ye-Po-Ti Adalah Jawa [ Javadvipa ]. Fah-Hien Menyebutkan Ada Umat Buddha Di Ye-Po-Ti, Walaupun Cuma Sedikit. Sekalipun Demikian Agaknya Sesudah Abad Kelima Keadaan Berubah. Tidak Sampai Tiga Ratus Tahun Kemudian, Pada Akhir Abad Ketujuh, Biksu China I-Tsing Mencatat Dengan Lengkap Agama Buddha Dan Aplikasinya Di India Dan Melayu.

Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Bila Dibandingkan Catatan Fah-Hien Tahun 414 Dengan Catatan I-Tsing, Dapat Diambil Kesimpulan Bahwa Agama Buddha Dipulau Jawa Dan Sumatra Telah Dibangun Dengan Sangat Cepat. Pekerjaan I-Tsing Selain Menulis Catatan Seperti Dikemukakan Diatas, Ia Juga Menulis Buku Tentang Perjalanan Seorang Guru Agama Terkenal Yang Pergi Ke Negri Disebelah Barat [ Kerajaan Sriwijaya ? ].

Diceritakannya Pada Catatannya Itu, Kehidupan Biarawan Yang Pada Intinya Hampir Sama Dengan Yang Ada Di India. Dalam Bukunya Dikatakan Bahwa Biksu Asli Jawa Dan Sumatra Adalah Sarjana Sanskrit Yang Sangat Bagus. Salah Saatunya Adalah Jnanabhadra Yang Merupakan Orang Jawa Asli Yang Tinggal Di Sumatra Dan Bertindak Sebagai Guru Bagi Biksu China Dan Membantu Menterjemahkan Sutra Kedalam Bahasa China. Bahasa Yang Digunakan Oleh Biksu Buddha Adalah Bahasa Sanskrit.

Bahasa Pali Tidak Digunakan. Bagaimanapun Hal Ini Tidak Boleh Dijadikan Patokan Bahwa Agama Buddha Yang Berkembang Disini Adalah Mahayana. I-Tsing Menjelaskan Dalam Bukunya. Agama Buddha Dipeluk Diseluruh Negri Ini Dan Kebanyakan Sistem Yang Diadopsi Adalah Hinayana, Kecuali Di Melayu Dimana Ada Sedikit Yang Mengadopsi Mahayana. Sudah Banyak Diketahui Umum Bahwa Literatur Agama Buddha Berbahasa Sanskrit Tidak Melulu Berarti Mahayana.

Inilah Bentuk Agama Buddha Yang Mencapai Kepulauan Di Laut Selatan. I-Tsing Mengatakan Di Kepulauan Di Laut Selatan, Mulasarvastivadanikayo Hampir Secara Universal Di Adaptasi. I-Tsing Tampaknya Tidak Mempermasalahkan Perbedaan Antara Penganut Hinayana Dan Mahayana. Dikatakannya :
Mereka Yang Menyembah Bodhisatta Dan Membaca Sutra Mahayana Disebut Penganut Mahayana. Sementara Yang Tidak Disebut Penganut Hinayana. Kedua Sistem Ini Sesuai Dengan Ajaran Dhamma.

Dapatkah Kita Katakan Mana Yang Benar? Keduanya Mengajarkan Kebajikan Dan Membimbing Kita Ke Nirvana. Keduanya Menuju Kepada Pemusnahan Nafsu Dan Penyelamatan Semua Mahluk Hidup. Kita Tidak Boleh Mempersoalkan Perbedaan Ini. Membuat Keraguan Yang Malah Akan Membuat Kebingungan. Dari Karya-Karyanya Dapat Dikatakan Bahwa I-Tsing Tidaklah Terlalu Dalam Bergelut Dalam Masalah Filosofi Buddhis Tetapi Hanya Tertarik Pada Kehidupan Biarawan Dan Tugas-Tugas Yang Diemban Oleh Mereka. Dengan Kata Lain, Ia Memberikan Seluruh Waktunya Untuk Belajar Vinnaya Dan Kehidupan Biarawan
Sebagai Pusat Kerajaan, Kondisi Palembang Ketika Itu Bersifat Mendesa [ Rural ], Tidak Seperti Pusat-Pusat Kerajaan Lain Yang Ditemukan Di Wilayah Asia Tenggara Daratan, Seperti Di Thailand, Kamboja, Dan Myanmar. Bahan Utama Yang Dipakai Untuk Membuat Bangunan Di Pusat Kota Kerajaan Sriwijaya Adalah Kayu Atau Bambu Yang Mudah Didapatkan Di Sekitarnya. Oleh Karena Bahan Itu Mudah Rusak Termakan Zaman, Maka Tidak Ada Sisa Bangunan Yang Dapat Ditemukan Lagi.

Kalaupun Ada, Sisa Pemukiman Dengan Konstruksi Kayu Tersebut Hanya Dapat Ditemukan Di Daerah Rawa Atau Tepian Sungai Yang Terendam Air, Bukan Di Pusat Kota, Seperti Di Situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang Ada Bangunan Yang Dibuat Dari Bahan Bata Atau Batu, Tapi Hanya Bangunan Sakral [ Keagamaan ], Seperti Yang Ditemukan Di Palembang, Di Situs Gedingsuro, Candi Angsoka, Dan Bukit Siguntang, Yang Terbuat Dari Bata. Sayang Sekali, Sisa Bangunan Yang Ditemukan Tersebut Hanya Bagian Pondasinya Saja.

Seiring Perkembangan, Semakin Banyak Ditemukan Data Sejarah Berkenaan Dengan Kerajaan Sriwijaya. Selain Prasasti Kota Kapur, Juga Ditemukan Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru.

Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Bertarikh 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Kerajaan Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan. Data Tersebut Semakin Lengkap Dengan Adanya Berita Cina Dan Arab. Sumber Cina Yang Paling Sering Dikutip Adalah Catatan I-Tsing.

Ia Merupakan Seorang Peziarah Budha Dari China Yang Telah Mengunjungi Kerajaan Sriwijaya Beberapa Kali Dan Sempat Bermukim Beberapa Lama. Kunjungan I-Sting Pertama Adalah Tahun 671 M. Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India
I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Catatan Cina Yang Lain Menyebutkan Tentang Utusan Kerajaan Sriwijaya Yang Datang Secara Rutin Ke Cina, Yang Terakhir Adalah Tahun 988 M.

Dalam Sumber Lain, Yaitu Catatan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak.

Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya. Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar.

Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.

Seperti Dikemukakan Diatas, Di Sumatra Dan Jawa Lebih Berkembang Hinayana. I-Tsing Menceritakan Bahwa Di Melayu, Ditengah-Tengah Pesisir Timur Sumatra Ada Pula Yang Menganut Mahayana. Dari Sumber Lain Dijelaskan Bahwa Sebelum Kedatangan I-Tsing, Telah Datang Biksu Dari India Dharmapala, Ke Melayu Dan Menyebarkan Aliran Mahayana.

Awal Abad Ke-20, Dua Prasasti Ditemukan Di Dekat Palembang Yang Bercorak Mahayana. Prasasti Lain Yang Dibuat Tahun 775, Ditemukan Di Viengsa, Semenanjung Melayu Mengemukakan Bahwa Salah Satu Raja Kerajaan Sriwijaya Dari Keturunan Syailendra - Yang Tidak Cuma Memerintah Di Selatan Sumatra Tapi Juga Dibagian Selatan Semenanjung Melayu - Memerintahkan Pembangunan Tiga Stupa. Ketiga Stupa Tersebut Dipersembahkan Kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara Dan Vajrapani. Dan Ditempat Lain Ditemukan Plat Emas Yang Bertuliskan Beberapa Nama Dyani Buddha, Yang Jelas-Jelas Merupakan Aliran Mahayana.

Dari Berita I-Tsing Itu Selanjutnya Kita Dapat Mengambil Kesimpulan Bahwa Pada Waktu Itu Kerajaan Sriwijaya Menjadi Pusat Agama Buddha. Disana Terdapat Sebuah Perguruan Tinggi Buddha Yang Tidak Kalah Dengan Perguruan Yang Ada Di Nalanda India. Ada Lebih Dari 1000 Biksu Yang Ajaran Serta Tata Upacaranya Sama Dengan Yang Ada Di India.

Kecuali Pengikut Hinayana, Di Kerajaan Sriwijaya Juga Terdapat Pengikut Mahayana. Bahkan Ada Guru Mahayana Yang Mengajar Disitu. Dari Berita Ini Jelas Bahwa Kerajaan Sriwijaya Adalah Pusat Agama Buddha Mahayana, Yang Terbuka Bagi Gagasan Baru Dan Yang Juga Senang Mengadakan Pekerjaan Ilmiah. Oleh Karena Itu Musafir China Yang Ingin Belajar Di India Pasti Singgah Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mengadakan Persiapan. Hal Itu Juga Dilakukan Oleh I-Tsing Sendiri.

BUKTI PALEMBANG PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA

Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.
George Coedes Dalam Tulisannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M, Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.
Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang. Sumber Lain, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Petunjuk Lain Yang Menyatakan Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Juga Diperoleh Dari Hasil Temuan Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen, Semuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami. Dari Hasil Temuan Keramik Dan Kanal-Kanal Ini, Maka Dugaan Para Arkeolog Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Semakin Kuat.

BENDA PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Diantaranya Adalah Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Lain Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Masih Ada Lagi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Lainnya, Yaitu Barang-Barang Keramik Dan Tembikar. Peninggalan Berupa Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Ini Ditemukan Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen. Kesemuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Berupa Prasasti Selain Prasasti Kota Kapur Adalah Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Prasasti Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Prasasti Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ], Prasasti Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru. Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Berangka Tahun 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan.

Dari Prasasti Kota Kapur Yang Ditemukan JK Van Der Meulen Di Pulau Bangka Pada Bulan Desember 1892 M, Diperoleh Petunjuk Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang Sedang Berusaha Menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun Tidak Dijelaskan Wilayah Mana Yang Dimaksud Dengan Bhumi Jawa Dalam Prasasti Itu, Beberapa Arkeolog Meyakini, Yang Dimaksud Bhumi Jawa Itu Adalah Kerajaan Tarumanegara Di Pantai Utara Jawa Barat. Selain Dari Isi Prasasti, Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Juga Bisa Diketahui Dari Persebaran Lokasi Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tersebut. Di Daerah Lampung Ditemukan Prasasti Palas Pasemah, Di Jambi Ada Karang Berahi, Di Bangka Ada Kota Kapur, Di Riau Ada Muara Takus. Semua Ini Menunjukkan Bahwa, Daerah-Daerah Tersebut Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Sumber Lain Ada Yang Mengatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya Mencapai Philipina. Ini Merupakan Bukti Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Pernah Menguasai Sebagian Besar Wilayah Nusantara.

Dalam Relasinya Dengan India, Raja-Raja Kerajaan Sriwijaya Bukan Saja Membangun Prasasti Di Wilayah Kerajaan Sriwijaya, Tetapi Juga Membangun Bangunan Suci Agama Budha Di India. Fakta Ini Tercantum Dalam Dua Buah Prasasti, Yaitu Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda, Yang Diperkirakan Berasal Dari Abad Ke-9 M, Dan Prasasti Raja Rajaraja I Yang Berangka Tahun 1044 M Dan 1046 M. Prasasti Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda Menyebutkan Tentang Raja Balaputradewa Dari Suwarnadwipa [ Kerajaan Sriwijaya ] Yang Membangun Sebuah Biara. Sementara Prasasti Raja Rajaraja I Menyebutkan Tentang Raja Kataha Dan Kerajaan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman Yang Memberi Hadiah Sebuah Desa Untuk Dipersembahkan Kepada Sang Buddha Yang Berada Dalam Biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.

CATATAN TENTANG KERAJAAN SRIWIJAYA

Salah Satu Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Perjalanan I-Tsing. Dalam Catatan I-Tsing Ini Disebutkan Bahwa, Pada Saat Itu, Di Kerajaan Sriwijaya Terdapat Seribu Pendeta. Dalam Perjalanan Pertamanya, I-Tsing Sempat Bermukim Selama Enam Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mendalami Bahasa Sansekerta. I-Tsing Juga Menganjurkan, Jika Seorang Pendeta Cina Ingin Belajar Ke India, Sebaiknya Belajar Dulu Setahun Atau Dua Tahun Di Fo-Shih [ Palembang ], Baru Kemudian Belajar Di India.

Sepulangnya Dari Nalanda, I-Tsing Menetap Di Kerajaan Sriwijaya Selama Tujuh Tahun [ 688-695 M ] Dan Menghasilkan Dua Karya Besar Yaitu Ta T'Ang Si-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan Dan Nan-Hai-Chi-Kuei-Nei-Fa-Chuan [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ] Yang Selesai Ditulis Pada Tahun 692 M. Ini Menunjukkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Merupakan Salah Satu Pusat Agama Budha Yang Penting Pada Saat Itu.

Selain Itu, Hal Penting Lain Yang Juga Termuat Dalam Catatan I-Tsing, Adalah Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra.

Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India. I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Catatan Lainnya Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Karangan George Coedes. Dalam Catatan George Coedes Tersebut, Ia Menulis Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang " Berjudul Le Royaume De Crivijaya " Pada Tahun 1918 M.

Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Kern. Lima Tahun Sebelum George Coedes Menyelesaikan Karangannya, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Disamping Catatan Ada Juga Karya Terjemahan Tentang Kerajaan Sriwijaya. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ]. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih.

Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Sumber Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya, Yaitu Catatan Seorang Sejarawan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak. Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya.

Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar. Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.

RANGKUMAN TENTANG KERAJAAN SRIWIJAYA :

CARA MEMPERLUAS KEKUASAAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Salah Satu Cara Untuk Memperluas Pengaruh Kerajaan Sriwijaya Adalah Dengan Melakukan Perkawinan Dengan Kerajaan Lain. Hal Ini Juga Dilakukan Oleh Penguasa Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Yang Berkuasa Sejak 664 M, Melakukan Pernikahan Dengan Sobakancana, Putri Kedua Raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan Ini Melahirkan Seorang Putra Yang Menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya Berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu Kemudian Memiliki Putri Yang Bernama Dewi Tara. Putri Ini Kemudian Ia Nikahkan Dengan Samaratungga, Raja Kerajaan Mataram Kuno Dari Dinasti Syailendra. Dari Pernikahan Dewi Setu Dengan Samaratungga, Kemudian Lahir Bala Putra Dewa Yang Menjadi Raja Di Kerajaan Sriwijaya Dari 833 Hingga 856 M.\

Tidak ada komentar:

Posting Komentar